FAKTA TENAGA PENDIDIK DI INDONESIA
Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas
satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh
nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan
raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru dan dosen merupakan
faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu
pendidikan di setiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang
ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru dan dosen
yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak
akan tercapai tujuan yang diharapkan [UU No.14Thn 2005:2]
Pendapat akhir pemerintah atas Rancangan UU tentang guru dan dosen
yang disampaikan pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, cukup menjanjikan kualitas pendidikan Indonesia dengan guru-guru
yang profesional, memiliki kompetensi dan disertfikasi sebagai jabatan profesi
guru. Tetapi, konsep dan Undang-Undang, berbicara pada dataran edial, tetapi
realitas pendidikan yang dihadapi saat ini berbicara lain. Katakan saja, berita
dari dunia pendidikan yang menggetarkan para pengguna pendidikan: Pertama, hampir
separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi
yang layak untuk mengajar. Katakan saja, kualifikasi dan kompetensinya tidak
mencukupi untuk mengajar disekolah. Dari sini kemudian diklarifikasi
lagi, guru yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505,
terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru AMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962
guru SMK. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan
keahlian yang dipunyainya atau budangnya [Kompas, 9/12/2005]. Dengan kondisi,
berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut?
Berapa banyak yang dirugikan? [Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006]. Keempat,
fakta lain, menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari
memadai. Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK
dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu 17.2%
guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Bila SDM
guru kita, dibandingkan dengan negara-negara lain, maka kualitas SDM guru kita
berada pada urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index
[Satria Dharma:From:http:// suarakita. com/artikel. html]. Apabila data ini
valid, maka cukup mencengankan kita yang bergelut dalam dunia pendidikan selama
ini.
Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak
lama dan perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan masyarakat
[Purwanto; From.http: //www. pustekkom.go.id]. Tetapi, data dan kondisi di
atas, cukup memprihatikan kita. Mungkin kita bertanya, apa yang diperbuat
selama ini dalam dunia pendidikan kita? Padahal, setiap ganti mentri, mesti
ganti kebijakan dalam dunia pendidikan, tetapi kondisi dan realitas tenaga guru
yang disebutkan di atas adalah merupakan suatu berita yang mencengangkan dan
bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru dapat menjadi profesional?
Harus disadari kondisi guru seperti pada temuan di atas harus menjadi
keprihatinan bersama.
Kondisi
di atas membuat kita bertanya, apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem
rekruiting guru. Siapakah mereka itu? Apakah mereka adalah para calon guru atau
mereka-mereka yang sedang belajar untuk menjadi guru. Apakah mereka itu sejak
semula bercita-cita menjadi guru ataukah lantaran tidak dapat masuk ke fakultas
yang dicita-citakan, lantas memaksa diri untuk menjadi guru yang tidak sesuai
dengan pilihannya? Apakah kegagalan mereka untuk memasuki fakultas nonkeguruan
merupakan indikasi bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan yang mencukupi?
Apabila demikian, apakah mereka dapat dikatakan terdampar menjadi guru? Ini
adalah persoalan serius yang dihadapi untuk mewujudkan kompetensi, sertifikasi
dan profesionalisme guru. Bukankah hampir tidak pernah terdengar tentang sebuah
ciri-cita untuk menjadi guru, sekalipun dari anak guru? Apakah ini semua, ada
korelasinya dengan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme para guru?
[Baca: Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006].
KOMPETENSI YANG HARUS DIMILIKI OLEH GURU
Guru wajib
memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi
persolan atau kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional
yang diperoleh melalui pendidikan profesi [UU No.14 Th.2005:psl. 8 dan 10].
Depdiknas, [2001], merumuskan beberapa kompetensi atau kemampuan yang sesuai
seperti, kompetensi kepribadian, bidang studi, dan kompetensi pada
pendidikan/pengajaran [Paul Suparno, 2004:47]. Kompetensi ini, berkaitan dengan
kemampuan guru dalam mengajar, membimbing, dan juga memberikan teladan hidup
kepada siswa. Berdasarkan hasil penelitian, banyak guru kita masih rendah dalam
kompetensi pengajaran, maka dalam pendidikan profesi dan sertifikasi kemampuan
keterampilan mengajar harus diutamakan [Paul Suparman, KR,15/11/2005:10].
Tugas guru
merupakan pekerjaan yang cukup berat dan mulia, karena selain memperoleh amanah
dan limpahan tugas dari masyarakat dan orang murid, guru juga harus memiliki
kemampuan untuk mentransfer pengetahuan dan kebudayaan, keterampilan menjalani
kehidupan [life skills], nilai-nilai [value] dan beliefs. Dari
life skills, guru diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi proses
pembelajaran yang didasarkan pada leaning competency, sehingga outputnya
jelas. Guru dituntut memiliki kompetensi bidang keilmuan dan kompetensi
bidang keguaruan. Guru dituntut meningkatan kinerjanya [performance],
meningkatkan kemampuan, wawasan, serta kreativitasnya.
Bagaimana
guru ideal yang dibutuhkan untuk mencapai kualitas pendidikan. Kata kuncinya,
adalah guru harus diajak berubah dengan dilatih terus menerus. Guru harus terus
ditingkatkan sensifitasnya dan kreatifitasnya. Kemampuan guru mengembangkan
kepekaan paedagogisnya untuk kepentingan pembelajaran dan kualitas pendidikan.
Guru harus benar-benar kompeten pada bidangnya dan memiliki komitmen tinggi
pada profesinya.
Guru profesional
seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif,
personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang
guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi
dengan baik. Mereka harus
1) memiliki
bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme,
2) memiliki
kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang
tugasnya,
3) memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu,
mereka juga harus
4) mematuhi
kode etik profesi,
5) memiliki
hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas,
6) memperoleh
penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya,
7) memiliki
kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan,
8) memperoleh
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan
9) memiliki
organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Di lapangan banyak di
antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi
pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Tidak memiliki
kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya
memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti,
dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga
memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.
Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan
beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru,
misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb.
Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya,
guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan
memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu
bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan
integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari
banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung
jawab pendidikan harus mengambil langkah. Salah satu tujuan pendidikan klasik
(Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur
terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk
mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
Peningkatan kesejahteraan, agar seorang guru
bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya
diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
SERTIFIKASI GURU DALAM UPAYA
PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
Langkah
dan tujuan melakukan sertifikasi guru adalah untuk meningkat kualitas guru
sesuai dengan kompetensi keguruannya. Dalam UU guru ada beberapa hal yang dapat
dikelompokan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas atau mutu guru antara
lain: [1] sertifikasi guru, [2] pembaharuan sertifikat, [3] beberapa fasilitas
untuk memajukan, diri [4] sarjana nonpendidikan dapat menjadi guru. Semua guru
harus mempunyai sertifikat profesi guru, sebagai standar kompetensi guru.
Sertifikasi
guru jangan dipandang sebagai satu-satunya jalan atau sebagai satu-satunya alat
ukur mutu guru. Sebab sertifikasi guru belum tentu menjamin peningkatan
kualitas guru. Maka, birokrasi dalam hal ini pemerintah jangan hanya memikirkan
agar guru dapat disertifikasi dan dipaksa menjadi baik secara ”instan” dengan
mengabaikan kondisi guru. Sebab, jika kesiapan para guru dan lingkungan kerja
guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensinya, kesejahteraan guru
kurang layak, maka sulit diharapkan perubahan dapat terjadi. Secara makro hal
ini disebabkan karena secara nasional maupun lokal guru tidak ditempatkan
sebagai SDM yang strategis untuk melakukan perubahan. Disamping kualitas guru
yang masih rendah, mereka juga masih dibayar rendah.
Aspek
sertifikasi guru yang akan diuji adalah mengacu pada kompetensi dasar yang
harus dimiliki guru, yaitu kompetensi profesional, persolan, kepribadian, dan
sosial. Pertama, kompetensi profesional, aspek pada kompetensi
ini berkaitan dengan kemampuan mengajar, meliputi kemampuan dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis,
penyusunan program perbaikan dan pengayaan, kemampuan dalam membimbing dan
konseling. Kemampuan dalam bidang keilmuan, terkait dengan keluasan dan kedalam
ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan ditransformasikan kepada peserta
didik, pemahaman terhadap wawasan pendidikan, dan kemampuan memahami
kebijakan-kebijakan pendidikan. Keduan, kompetensi persolan, aspek
pada kompetensi ini berkaitan dengan aktualisasi diri dan menekuni profesi,
jujur, beriman, bermoral, peka, luwes, humanis, berwawasan luas, berpikir
kreatif, kritis, refletif, mau belajar sepanjang hayat. Ketiga, kompetensi
kepribadian, aspek pada kompetensi ini berkait dengan kondisi guru
sebagai individu yang kepribadian yang utuh, mantap, dewasa, berwibawa, berbudi
luhur dan anggun moral, serta penuh keteladanan. Keempat, kompetensi sosial,
aspek pada kompetensi ini berkait dengan kemampuan berkomunikasi secara
efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga
kependidikan, kemampuan menyelesaikan masalah, dan mengabdi pada kepentingan
masyarakat.
Sertifikasi
guru, merupakan kebijakan yang sangat strategis, karena langkah dan tujuan
melakukan sertifikasi guru untuk meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi,
mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk
meningkatkan kualitas pendidiakan di Indonesia.
Sikap yang
harus dibangun para guru dalam kompetensi dan sertifikasi ini adalah
profesionalisme, kualitas, mengenal dan menekuni profesi keguruan, meningkatkan
kualitas keguruan, mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru,
kerasan dan bangga atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang
memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi keguruan.
Sertifikasi
guru merupakan proses yang dapat mengangkat harkat dan wibawa guru. Namun,
sertifikasi guru jangan sampai dipandang sebagai satu-satunya jalan yang
menjamin kualitas guru. Sangat tidak tepat apabila pemerintah memaksakan
program ini menjadi program yang ”instan”, sementara lingkungan kerja guru
tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensi. Jika program ini dipaksakan
secara ”instan”, maka sulit diharapkan sebuah perubahan yang signifikan akan
terjadi pada wajah pendidikan di Indonesia.
Hal yang
penting adalah membangun ”kesadaran” dan ”budaya” bahwa guru adalah ”ujung
tombak”, memiliki peran yang besar, merupakan faktor penting dan strategis
dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, yang didukung dengan kesejahteraan
guru yang layak dan memadai, sehingga mau tidak mau, senang tidak senang, guru
harus meningkat diri dengan profesi yang ditekuninya. Dengan demikian, kata
kuncinya semua kebijakan yang dilakukan untuk meningkat kualitas, kompetsnsi
dan sertifikasi guru adalah ”by proses” dan bukan ”instan
SUMBER
REFERENSI
Hujair AH.
Sanaky , Kompetensi Dan Sertifikasi Guru
”Sebuah Pemikiran”
Prof. Dr. H.
Mudjia Rahardjo. 2010. Pengembangan
Profesionalisme Guru (2)
Prof. Dr. Ravik karsidi, MS. 2005. Profesionalisme
Guru Dan Peningkatan Mutu Pendidikan Di Era Otonomi Daerah. Makalah: Disampaikan dalam Seminar
Nasional Pendidikan