Wednesday, July 25, 2012

PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU


FAKTA TENAGA PENDIDIK DI INDONESIA
Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru dan dosen merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru dan dosen yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan [UU No.14Thn 2005:2]
Pendapat akhir pemerintah atas Rancangan UU tentang guru dan dosen yang disampaikan pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, cukup menjanjikan kualitas pendidikan Indonesia dengan guru-guru yang profesional, memiliki kompetensi dan disertfikasi sebagai jabatan profesi guru. Tetapi, konsep dan Undang-Undang, berbicara pada dataran edial, tetapi realitas pendidikan yang dihadapi saat ini berbicara lain. Katakan saja, berita dari dunia pendidikan yang menggetarkan para pengguna pendidikan: Pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Katakan saja, kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar disekolah. Dari sini kemudian diklarifikasi lagi, guru yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru AMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962 guru SMK. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau budangnya [Kompas, 9/12/2005]. Dengan kondisi, berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? [Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006]. Keempat, fakta lain, menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai. Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu 17.2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Bila SDM guru kita, dibandingkan dengan negara-negara lain, maka kualitas SDM guru kita berada pada urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index [Satria Dharma:From:http:// suarakita. com/artikel. html]. Apabila data ini valid, maka cukup mencengankan kita yang bergelut dalam dunia pendidikan selama ini.
Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak lama dan perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan masyarakat [Purwanto; From.http: //www. pustekkom.go.id]. Tetapi, data dan kondisi di atas, cukup memprihatikan kita. Mungkin kita bertanya, apa yang diperbuat selama ini dalam dunia pendidikan kita? Padahal, setiap ganti mentri, mesti ganti kebijakan dalam dunia pendidikan, tetapi kondisi dan realitas tenaga guru yang disebutkan di atas adalah merupakan suatu berita yang mencengangkan dan bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru dapat menjadi profesional? Harus disadari kondisi guru seperti pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama.
Kondisi di atas membuat kita bertanya, apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem rekruiting guru. Siapakah mereka itu? Apakah mereka adalah para calon guru atau mereka-mereka yang sedang belajar untuk menjadi guru. Apakah mereka itu sejak semula bercita-cita menjadi guru ataukah lantaran tidak dapat masuk ke fakultas yang dicita-citakan, lantas memaksa diri untuk menjadi guru yang tidak sesuai dengan pilihannya? Apakah kegagalan mereka untuk memasuki fakultas nonkeguruan merupakan indikasi bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan yang mencukupi? Apabila demikian, apakah mereka dapat dikatakan terdampar menjadi guru? Ini adalah persoalan serius yang dihadapi untuk mewujudkan kompetensi, sertifikasi dan profesionalisme guru. Bukankah hampir tidak pernah terdengar tentang sebuah ciri-cita untuk menjadi guru, sekalipun dari anak guru? Apakah ini semua, ada korelasinya dengan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme para guru? [Baca: Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006].

KOMPETENSI YANG HARUS DIMILIKI OLEH GURU
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi persolan atau kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi [UU No.14 Th.2005:psl. 8 dan 10]. Depdiknas, [2001], merumuskan beberapa kompetensi atau kemampuan yang sesuai seperti, kompetensi kepribadian, bidang studi, dan kompetensi pada pendidikan/pengajaran [Paul Suparno, 2004:47]. Kompetensi ini, berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar, membimbing, dan juga memberikan teladan hidup kepada siswa. Berdasarkan hasil penelitian, banyak guru kita masih rendah dalam kompetensi pengajaran, maka dalam pendidikan profesi dan sertifikasi kemampuan keterampilan mengajar harus diutamakan [Paul Suparman, KR,15/11/2005:10].
Tugas guru merupakan pekerjaan yang cukup berat dan mulia, karena selain memperoleh amanah dan limpahan tugas dari masyarakat dan orang murid, guru juga harus memiliki kemampuan untuk mentransfer pengetahuan dan kebudayaan, keterampilan menjalani kehidupan [life skills], nilai-nilai [value] dan beliefs. Dari life skills, guru diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi proses pembelajaran yang didasarkan pada leaning competency, sehingga outputnya jelas. Guru dituntut memiliki kompetensi bidang keilmuan dan kompetensi bidang keguaruan. Guru dituntut meningkatan kinerjanya [performance], meningkatkan kemampuan, wawasan, serta kreativitasnya.
Bagaimana guru ideal yang dibutuhkan untuk mencapai kualitas pendidikan. Kata kuncinya, adalah guru harus diajak berubah dengan dilatih terus menerus. Guru harus terus ditingkatkan sensifitasnya dan kreatifitasnya. Kemampuan guru mengembangkan kepekaan paedagogisnya untuk kepentingan pembelajaran dan kualitas pendidikan. Guru harus benar-benar kompeten pada bidangnya dan memiliki komitmen tinggi pada profesinya.
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Mereka harus
1)      memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme,
2)      memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
3)      memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus
4)      mematuhi kode etik profesi,
5)      memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas,
6)      memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya,
7)      memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan,
8)      memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan
9)      memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.
Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
Peningkatan kesejahteraan, agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.         



SERTIFIKASI GURU DALAM UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
Langkah dan tujuan melakukan sertifikasi guru adalah untuk meningkat kualitas guru sesuai dengan kompetensi keguruannya. Dalam UU guru ada beberapa hal yang dapat dikelompokan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas atau mutu guru antara lain: [1] sertifikasi guru, [2] pembaharuan sertifikat, [3] beberapa fasilitas untuk memajukan, diri [4] sarjana nonpendidikan dapat menjadi guru. Semua guru harus mempunyai sertifikat profesi guru, sebagai standar kompetensi guru.
Sertifikasi guru jangan dipandang sebagai satu-satunya jalan atau sebagai satu-satunya alat ukur mutu guru. Sebab sertifikasi guru belum tentu menjamin peningkatan kualitas guru. Maka, birokrasi dalam hal ini pemerintah jangan hanya memikirkan agar guru dapat disertifikasi dan dipaksa menjadi baik secara ”instan” dengan mengabaikan kondisi guru. Sebab, jika kesiapan para guru dan lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensinya, kesejahteraan guru kurang layak, maka sulit diharapkan perubahan dapat terjadi. Secara makro hal ini disebabkan karena secara nasional maupun lokal guru tidak ditempatkan sebagai SDM yang strategis untuk melakukan perubahan. Disamping kualitas guru yang masih rendah, mereka juga masih dibayar rendah.
Aspek sertifikasi guru yang akan diuji adalah mengacu pada kompetensi dasar yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi profesional, persolan, kepribadian, dan sosial. Pertama, kompetensi profesional, aspek pada kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan mengajar, meliputi kemampuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis, penyusunan program perbaikan dan pengayaan, kemampuan dalam membimbing dan konseling. Kemampuan dalam bidang keilmuan, terkait dengan keluasan dan kedalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan ditransformasikan kepada peserta didik, pemahaman terhadap wawasan pendidikan, dan kemampuan memahami kebijakan-kebijakan pendidikan. Keduan, kompetensi persolan, aspek pada kompetensi ini berkaitan dengan aktualisasi diri dan menekuni profesi, jujur, beriman, bermoral, peka, luwes, humanis, berwawasan luas, berpikir kreatif, kritis, refletif, mau belajar sepanjang hayat. Ketiga, kompetensi kepribadian, aspek pada kompetensi ini berkait dengan kondisi guru sebagai individu yang kepribadian yang utuh, mantap, dewasa, berwibawa, berbudi luhur dan anggun moral, serta penuh keteladanan. Keempat, kompetensi sosial, aspek pada kompetensi ini berkait dengan kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan, kemampuan menyelesaikan masalah, dan mengabdi pada kepentingan masyarakat.
Sertifikasi guru, merupakan kebijakan yang sangat strategis, karena langkah dan tujuan melakukan sertifikasi guru untuk meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk meningkatkan kualitas pendidiakan di Indonesia.
Sikap yang harus dibangun para guru dalam kompetensi dan sertifikasi ini adalah profesionalisme, kualitas, mengenal dan menekuni profesi keguruan, meningkatkan kualitas keguruan, mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru, kerasan dan bangga atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi keguruan.
Sertifikasi guru merupakan proses yang dapat mengangkat harkat dan wibawa guru. Namun, sertifikasi guru jangan sampai dipandang sebagai satu-satunya jalan yang menjamin kualitas guru. Sangat tidak tepat apabila pemerintah memaksakan program ini menjadi program yang ”instan”, sementara lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensi. Jika program ini dipaksakan secara ”instan”, maka sulit diharapkan sebuah perubahan yang signifikan akan terjadi pada wajah pendidikan di Indonesia.
Hal yang penting adalah membangun ”kesadaran” dan ”budaya” bahwa guru adalah ”ujung tombak”, memiliki peran yang besar, merupakan faktor penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, yang didukung dengan kesejahteraan guru yang layak dan memadai, sehingga mau tidak mau, senang tidak senang, guru harus meningkat diri dengan profesi yang ditekuninya. Dengan demikian, kata kuncinya semua kebijakan yang dilakukan untuk meningkat kualitas, kompetsnsi dan sertifikasi guru adalah ”by proses” dan bukan ”instan




SUMBER REFERENSI
Hujair AH. Sanaky , Kompetensi Dan Sertifikasi Guru ”Sebuah Pemikiran”
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo. 2010. Pengembangan Profesionalisme Guru (2)
Dede Mohamad Riva, S.Pd. Upaya Meningkatkan Profesionalisma Guru
Prof. Dr. Ravik karsidi, MS. 2005. Profesionalisme Guru Dan Peningkatan Mutu Pendidikan Di Era Otonomi Daerah. Makalah: Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan








       



0 comments:

Post a Comment