Wednesday, July 25, 2012

PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU


FAKTA TENAGA PENDIDIK DI INDONESIA
Pendidikan yang bermutu sangat tergantung pada kapasitas satuan-satuan pendidikan dalam mentranformasikan peserta didik untuk memperoleh nilai tambah, baik yang terkait dengan aspek olah pikir, rasa, hati, dan raganya. Dari sekian banyak komponen pendidikan, guru dan dosen merupakan faktor yang sangat penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan di setiap satuan pendidikan. Berapa pun besarnya investasi yang ditanamkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, tanpa kehadiran guru dan dosen yang kompeten, profesional, bermartabat, dan sejahtera dapat dipastikan tidak akan tercapai tujuan yang diharapkan [UU No.14Thn 2005:2]
Pendapat akhir pemerintah atas Rancangan UU tentang guru dan dosen yang disampaikan pada rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, cukup menjanjikan kualitas pendidikan Indonesia dengan guru-guru yang profesional, memiliki kompetensi dan disertfikasi sebagai jabatan profesi guru. Tetapi, konsep dan Undang-Undang, berbicara pada dataran edial, tetapi realitas pendidikan yang dihadapi saat ini berbicara lain. Katakan saja, berita dari dunia pendidikan yang menggetarkan para pengguna pendidikan: Pertama, hampir separuh dari lebih kurang 2,6 juta guru di Indonesia tidak memiliki kompetensi yang layak untuk mengajar. Katakan saja, kualifikasi dan kompetensinya tidak mencukupi untuk mengajar disekolah. Dari sini kemudian diklarifikasi lagi, guru yang tidak layak mengajar atau menjadi guru berjumlah 912.505, terdiri dari 605.217 guru SD, 167.643 guru AMP, 75.684 guru SMA, dan 63.962 guru SMK. Kedua, tercatat 15 persen guru mengajar tidak sesuai dengan keahlian yang dipunyainya atau budangnya [Kompas, 9/12/2005]. Dengan kondisi, berapa banyak peserta didik yang mengenyam pendidikan dari guru-guru tersebut? Berapa banyak yang dirugikan? [Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006]. Keempat, fakta lain, menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai. Berdasarkan statistik 60% guru SD, 40% guru SLTP, 43% SMA, 34% SMK dianggap belum layak untuk mengajar di jenjang masing-masing. Selain itu 17.2% guru atau setara dengan 69.477 guru mengajar bukan bidang studinya. Bila SDM guru kita, dibandingkan dengan negara-negara lain, maka kualitas SDM guru kita berada pada urutan 109 dari 179 negara berdasarkan Human Development Index [Satria Dharma:From:http:// suarakita. com/artikel. html]. Apabila data ini valid, maka cukup mencengankan kita yang bergelut dalam dunia pendidikan selama ini.
Pekerjaan mengajar telah ditekuni orang sejak lama dan perkembangan profesi guru sejalan dengan perkembangan masyarakat [Purwanto; From.http: //www. pustekkom.go.id]. Tetapi, data dan kondisi di atas, cukup memprihatikan kita. Mungkin kita bertanya, apa yang diperbuat selama ini dalam dunia pendidikan kita? Padahal, setiap ganti mentri, mesti ganti kebijakan dalam dunia pendidikan, tetapi kondisi dan realitas tenaga guru yang disebutkan di atas adalah merupakan suatu berita yang mencengangkan dan bencana untuk dunia pendidikan. Mungkinkah guru dapat menjadi profesional? Harus disadari kondisi guru seperti pada temuan di atas harus menjadi keprihatinan bersama.
Kondisi di atas membuat kita bertanya, apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem rekruiting guru. Siapakah mereka itu? Apakah mereka adalah para calon guru atau mereka-mereka yang sedang belajar untuk menjadi guru. Apakah mereka itu sejak semula bercita-cita menjadi guru ataukah lantaran tidak dapat masuk ke fakultas yang dicita-citakan, lantas memaksa diri untuk menjadi guru yang tidak sesuai dengan pilihannya? Apakah kegagalan mereka untuk memasuki fakultas nonkeguruan merupakan indikasi bahwa mereka tidak mempunyai kemampuan yang mencukupi? Apabila demikian, apakah mereka dapat dikatakan terdampar menjadi guru? Ini adalah persoalan serius yang dihadapi untuk mewujudkan kompetensi, sertifikasi dan profesionalisme guru. Bukankah hampir tidak pernah terdengar tentang sebuah ciri-cita untuk menjadi guru, sekalipun dari anak guru? Apakah ini semua, ada korelasinya dengan kualifikasi, kompetensi, dan profesionalisme para guru? [Baca: Baskoro Poedjinoegroho E: Kompas, 5/1/2006].

KOMPETENSI YANG HARUS DIMILIKI OLEH GURU
Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi dasar yang harus dimiliki guru meliputi kompetensi paedagogik, kompetensi persolan atau kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi [UU No.14 Th.2005:psl. 8 dan 10]. Depdiknas, [2001], merumuskan beberapa kompetensi atau kemampuan yang sesuai seperti, kompetensi kepribadian, bidang studi, dan kompetensi pada pendidikan/pengajaran [Paul Suparno, 2004:47]. Kompetensi ini, berkaitan dengan kemampuan guru dalam mengajar, membimbing, dan juga memberikan teladan hidup kepada siswa. Berdasarkan hasil penelitian, banyak guru kita masih rendah dalam kompetensi pengajaran, maka dalam pendidikan profesi dan sertifikasi kemampuan keterampilan mengajar harus diutamakan [Paul Suparman, KR,15/11/2005:10].
Tugas guru merupakan pekerjaan yang cukup berat dan mulia, karena selain memperoleh amanah dan limpahan tugas dari masyarakat dan orang murid, guru juga harus memiliki kemampuan untuk mentransfer pengetahuan dan kebudayaan, keterampilan menjalani kehidupan [life skills], nilai-nilai [value] dan beliefs. Dari life skills, guru diharapkan dapat menciptakan suatu kondisi proses pembelajaran yang didasarkan pada leaning competency, sehingga outputnya jelas. Guru dituntut memiliki kompetensi bidang keilmuan dan kompetensi bidang keguaruan. Guru dituntut meningkatan kinerjanya [performance], meningkatkan kemampuan, wawasan, serta kreativitasnya.
Bagaimana guru ideal yang dibutuhkan untuk mencapai kualitas pendidikan. Kata kuncinya, adalah guru harus diajak berubah dengan dilatih terus menerus. Guru harus terus ditingkatkan sensifitasnya dan kreatifitasnya. Kemampuan guru mengembangkan kepekaan paedagogisnya untuk kepentingan pembelajaran dan kualitas pendidikan. Guru harus benar-benar kompeten pada bidangnya dan memiliki komitmen tinggi pada profesinya.
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Mereka harus
1)      memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme,
2)      memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
3)      memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus
4)      mematuhi kode etik profesi,
5)      memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas,
6)      memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya,
7)      memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan,
8)      memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan
9)      memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen).
Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik.
Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi, pelatihan berkala, dsb. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model. Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal).
Peningkatan kesejahteraan, agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.         



SERTIFIKASI GURU DALAM UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
Langkah dan tujuan melakukan sertifikasi guru adalah untuk meningkat kualitas guru sesuai dengan kompetensi keguruannya. Dalam UU guru ada beberapa hal yang dapat dikelompokan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas atau mutu guru antara lain: [1] sertifikasi guru, [2] pembaharuan sertifikat, [3] beberapa fasilitas untuk memajukan, diri [4] sarjana nonpendidikan dapat menjadi guru. Semua guru harus mempunyai sertifikat profesi guru, sebagai standar kompetensi guru.
Sertifikasi guru jangan dipandang sebagai satu-satunya jalan atau sebagai satu-satunya alat ukur mutu guru. Sebab sertifikasi guru belum tentu menjamin peningkatan kualitas guru. Maka, birokrasi dalam hal ini pemerintah jangan hanya memikirkan agar guru dapat disertifikasi dan dipaksa menjadi baik secara ”instan” dengan mengabaikan kondisi guru. Sebab, jika kesiapan para guru dan lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensinya, kesejahteraan guru kurang layak, maka sulit diharapkan perubahan dapat terjadi. Secara makro hal ini disebabkan karena secara nasional maupun lokal guru tidak ditempatkan sebagai SDM yang strategis untuk melakukan perubahan. Disamping kualitas guru yang masih rendah, mereka juga masih dibayar rendah.
Aspek sertifikasi guru yang akan diuji adalah mengacu pada kompetensi dasar yang harus dimiliki guru, yaitu kompetensi profesional, persolan, kepribadian, dan sosial. Pertama, kompetensi profesional, aspek pada kompetensi ini berkaitan dengan kemampuan mengajar, meliputi kemampuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis, penyusunan program perbaikan dan pengayaan, kemampuan dalam membimbing dan konseling. Kemampuan dalam bidang keilmuan, terkait dengan keluasan dan kedalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan ditransformasikan kepada peserta didik, pemahaman terhadap wawasan pendidikan, dan kemampuan memahami kebijakan-kebijakan pendidikan. Keduan, kompetensi persolan, aspek pada kompetensi ini berkaitan dengan aktualisasi diri dan menekuni profesi, jujur, beriman, bermoral, peka, luwes, humanis, berwawasan luas, berpikir kreatif, kritis, refletif, mau belajar sepanjang hayat. Ketiga, kompetensi kepribadian, aspek pada kompetensi ini berkait dengan kondisi guru sebagai individu yang kepribadian yang utuh, mantap, dewasa, berwibawa, berbudi luhur dan anggun moral, serta penuh keteladanan. Keempat, kompetensi sosial, aspek pada kompetensi ini berkait dengan kemampuan berkomunikasi secara efektif dan efesien dengan peserta didik, sesama pendidik dan tenaga kependidikan, kemampuan menyelesaikan masalah, dan mengabdi pada kepentingan masyarakat.
Sertifikasi guru, merupakan kebijakan yang sangat strategis, karena langkah dan tujuan melakukan sertifikasi guru untuk meningkat kualitas guru, memiliki kompetensi, mengangkat harkat dan wibawa guru sehingga guru lebih dihargai dan untuk meningkatkan kualitas pendidiakan di Indonesia.
Sikap yang harus dibangun para guru dalam kompetensi dan sertifikasi ini adalah profesionalisme, kualitas, mengenal dan menekuni profesi keguruan, meningkatkan kualitas keguruan, mau belajar dengan meluangkan waktu untuk menjadi guru, kerasan dan bangga atas keguruannya adalah langkah untuk menjadi guru yang memiliki kualifikasi dan kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi keguruan.
Sertifikasi guru merupakan proses yang dapat mengangkat harkat dan wibawa guru. Namun, sertifikasi guru jangan sampai dipandang sebagai satu-satunya jalan yang menjamin kualitas guru. Sangat tidak tepat apabila pemerintah memaksakan program ini menjadi program yang ”instan”, sementara lingkungan kerja guru tidak mendukung penggunaan maksimal kompetensi. Jika program ini dipaksakan secara ”instan”, maka sulit diharapkan sebuah perubahan yang signifikan akan terjadi pada wajah pendidikan di Indonesia.
Hal yang penting adalah membangun ”kesadaran” dan ”budaya” bahwa guru adalah ”ujung tombak”, memiliki peran yang besar, merupakan faktor penting dan strategis dalam usaha meningkatkan mutu pendidikan, yang didukung dengan kesejahteraan guru yang layak dan memadai, sehingga mau tidak mau, senang tidak senang, guru harus meningkat diri dengan profesi yang ditekuninya. Dengan demikian, kata kuncinya semua kebijakan yang dilakukan untuk meningkat kualitas, kompetsnsi dan sertifikasi guru adalah ”by proses” dan bukan ”instan




SUMBER REFERENSI
Hujair AH. Sanaky , Kompetensi Dan Sertifikasi Guru ”Sebuah Pemikiran”
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo. 2010. Pengembangan Profesionalisme Guru (2)
Dede Mohamad Riva, S.Pd. Upaya Meningkatkan Profesionalisma Guru
Prof. Dr. Ravik karsidi, MS. 2005. Profesionalisme Guru Dan Peningkatan Mutu Pendidikan Di Era Otonomi Daerah. Makalah: Disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan








       



EVALUASI PEMBELAJARAN



Evaluasi adalah penilaian kesesuaian antara performance dengan objective, antara kenyataan dengan harapan dalam pembelajaran. Evaluasi adalah professional judgment terhadap hasil tes/pengukuran. Dalam professional judgment masuk value yang digunakan oleh profesional itu. Untuk dapat dievaluasi harus ada rumusan objektif yang jelas. Tanpa ada obyektif, tak mungkin ditetapkan sejauh mana sebuah performance telah mendekati tujuan.
Tujuan dilaksanakannya evaluasi proses dan hasil pembelajaran adalah untuk mengetahui keefektifan pelaksanaan pembelajaran dan pencapaian hasil pembelajaran oleh setiap mahasiswa. Informasi kedua hal tersebut pada gilirannya sebagai masukan untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran
Dalam sebuah evaluasi haruslah terdapat decision making process, yang artinya adalah membuat keputusan dari beberapa pilihan/alternatif yang telah dibuat.
Terdapat dua jenis evaluasi menurut sifatnya yaitu Evaluasi kognitif dan afektif. Evaluasi kognitif meliputi mengukur kemampuan mengingat, memecahkan masalah dg pengeta-huan yang diajarkan. Evaluasi ini dimaksudkan mengukur kemampuan pikir. Sedangkan evaluasi afektif menyangkut pengukuran rasa, emosi, penerimaan/penolakan terhadap sesuatu fenomena. Sedangkan berdasarkan sasaran evaluasi, terdapat tiga jenis evaluasi yaitu evaluasi masukan, proses, dan keluaran dari pembelajaran tersebut.
Evaluasi masukan pembelajaran menekankan pada evaluasi karakteristik peserta didik, kelengkapan dan keadaan sarana dan prasarana pembelajaran, karakteristik dan kesiapan dosen, kurikulum dan materi pembelajaran, strategi pembelajaran yang sesuai dengan mata kuliah, serta keadaan lingkungan dimana pembelajaran berlangsung. Evaluasi proses pembelajaran menekankan pada evalusi pengelolaan pembelajaran yang dilaksanakan oleh pembelajar meliputi keefektifan strategi pembelajaran yang dilaksanakan, keefektifan media pembelajaran, cara mengajar yang dilaksanakan, dan minat, sikap serta cara belajar mahasiswa. Evaluasi hasil pembelajaran atau evaluasi hasil belajar antara lain mengguakan tes untuk melakukan pengukuran hasil belajar sebagai prestasi belajar, dalam hal ini adalah penguasaan kompetensi oleh setiap mahasiswa.
Evaluasi Hasil Belajar antara lain mengunakan tes untuk melakukan pengukuran hasil belajar. Tes dapat didefinisikan sebagai seperangkat pertanyaan dan/atau tugas yang direncanakan untuk memperoleh informasi tentang trait, atribut pendidikan, psikologik atau hasil belajar yang setiap butir pertanyaan atau tugas tersebut mempunyai jawaban atau ketentuan yang dianggap benar. Istilah ini berasal dari bahasa latin “testum” yang berarti sebuah piringan atau jambangan dari tanah liat. Istilah ini dipergunakan dalam lapangan psikologi dan selanjutnya hanya dibatasi sampai metode psikologi, yaitu suatu cara untuk menyelidiki seseorang. Penyelidikan tersebut dilakukan mulai dari pemberian suatu tugas kepada seseorang atau untuk menyelesaikan suatu masalah tertentu. Pada hakikatnya tes adalah suatu alat yang berisi serangkaian tugas yang harus dikerjakan atau soal-soal yang harus dijawab oleh peserta didik untuk mengukur suatu aspek perilaku tertentu. Dengan demikian, fungsi tes adalah sebagai alat ukur.
Pengukuran adalah suatu proses atau kegiatan untuk menentukan kuantitas “sesuatu”. Kata “sesuatu” bisa berarti peserta didik, guru, gedung sekolah, meja belajar, papan tulis, dll.  Dalam proses pengukuran tentu guru harus menggunakan alat ukur  (tes atau non tes). Alat ukur tersebut harus standar, yaitu memiliki derajat validitas dan reliabilitas yang tinggi.
Penilaian adalah suatu proses atau kegiatan yang sistematis dan berkesinambungan untuk mengumpulkan informasi tentang proses dan hasil belajar peserta didik dalam rangka membuat keputusan-keputusan berdasarkan kriteria dari pertimbangan tertentu. Kegiatan penilaian harus dapat memberikan informasi kepada guru untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya dan membantu peserta didik mencapai perkembangan belajarnya secara optimal. Implikasinya adalah kegiatan penilaian harus digunakan sebagai cara atau teknik untuk mendidik sesuai dengan prinsip pedagogis. Guru harus menyadari bahwa kemajuan belajar perserta didik merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam pembelajaran.
Antara penilaian dan evaluasi sebenarnya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah keduanya mempunyai pengertian menilai atau menentukan nilai sesuatu, disamping itu juga alat yang digunakan untuk mengumpulkan datanya juga sama. Evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Pada hakikatnya keduanya merupakan suatu proses membuat keputusan tentang nilai suatu objek.
Perbedaannya terletak pada ruang lingkup dan pelaksanaannya. Ruang lingkup penilaian lebih sempit dan biasanya hanya terbatas pada salah satu komponen atau aspek saja, seperti prestasi belajar. Pelaksanaan penilaian biasanya dilakukan dalam konteks internal. Ruang lingkup evaluasi lebih luas, mencangkup semua komponen dalam suatu sistem dan dapat dilakukan tidak hanya pihak internal tetapi juga pihak eksternal.Evaluasi dan penilaian lebih bersifat komprehensif yang meliputi pengukuran, sedangkan tes merupakan salah satu alat (instrument) pengukuran. Pengukuran lebih membatasi pada gambaran yang bersifat kuantitatif (angka-angka) tentang kemajuan belajar peserta didik, sedangkan evaluasi dan penilaian lebih bersifat kualitatif. Keputusan penilaian tidak hanya didasarkan pada hasil pengukuran, tetapi dapat pula didasarkan hasil pengamatan dan wawancara.
Dalam pembelajaran sekarang ini, alat ukur untuk mengetahui hasil belajar siswa adalah tes. Langkah – langkah yang dilakukan untuk menyusun tes antara lain adalah (1). Determining the purpose of testing: (2). Tetapkan spesifikasi tes. (3). Selecting items type. (4). Preparing items. (5). Assembling the test. (6). Administering test. (7). Apprising test. (8). Using results.
Syarat yang harus dipenuhi dalam membuat tes adalah haruslah dapat mengukur apakah tes tersebut dapat mengukur apakah siswa mempunyai kompetensi yang telah ditetapka. Syarat yang lain adalah guru harus dapat memilih tes yang tepat sesuai ketersediaan waktu dan kemampuan guru. Maka sebelum memberikan tes, guru harus merencanakan (i) jumlah keseluruhan soal yang akan diberikan; (ii) jumlah untuk setiap pokok bahasan; (iii) jumlah untuk setiap format soal; (iv) jumlah untuk setiap tingkat kesulitan; (v) jumlah untuk setiap ranah.
Dalam membuat tes, tingkat kesulitan janganlah terlalu sulit dan jangan terlalu mudah, karena dengan tes seperti itu tidak akan menggambarkan tingkat kemampuan siswa. Soal tes haruslah bervariasi, ada yang sulit dan ada yang mudah. Perlu dipertimbangkan soal-soal yg tak terlalu sulit diletakkan di bagian depan, utk menum-buhkan kepercayaan diri murid.
Dalam pemilihan bentuk tes perlu memperhitungkan tujuan dari penilaian yang akan dilakukan. Hal ini dikarenakan setiap tes mempunyai tingkat kesulitan dan tujuan yang berbeda – beda.
Syarat dalam membuat tes yang lain yang tidak boleh dilupakan adalah validitas dan reliabilitas. Validitas adalah tepat atau sesuainya apa yang diterima siswa dengan yang diujikan. Sedangkan reliabilitas adalah tetap, kapanpun dan dimanapun tes itu dilaksanakan hasilnya akan sama.
Dalam melakukan tes, guru sering membuat tes sendiri. Hal ini dikarenakan karena memang terdapat banyak keuntungan antara lain mudah membuatnya, cara yang baik untuk menilai kemampuan ekspresi pikiran, siswa harus memilih hal-hal untuk menjawab soal dengan benar, berpengaruh positif pada pembelajaran. Tetapi tes buatan guru memilik banyak kekurangan, kekurangan tersebut antara lain (1). Ambiguous questions: Membingungkan (2). Excessive wording: Penggunaan kalimat yang terlalu banyak, (3) Lack of appropriate emphasis: Tidak jelas apa yang ditekankan. Ini juga membingungkan, (4) Penggunaan format-format tes yang tidak mengena, karena sekedar demi variasi.
Maka guru sendiri harus menjawab soal, dan menetapkan kata-kata kunci minimal yang harus ada dalam jawaban yang akan diberikan murid. Tetapi hati guru harus terbuka untuk menerima jawaban benar di luar yang diharapkan. Karena apabila hal tersebut tidak dilakukan, akan terdapat banyak kerugian akibat tes buatan guru yang antara lain (1). “Coverage”/isi soal terbatas (tak bisa meliput seluruh isi pelajaran), (2). Tak bisa diukur Reliabilitasnya karena yang ditanyakan belum tentu mewakili seluruh isi, (3). Soal kadang sulit dimengerti (4). Memakan waktu untuk koreksi.
Salah satu jenis evaluasi yang lain adalah belajar tugas mandiri. Belajar Mandiri adalah kegiatan belajar aktif, yang didorong oleh niat atau motif untuk menguasai sesuatu kompetensi guna mengatasi sesuatu masalah, dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang telah dimiliki. Terdapat empat kriteria yang harus dimiliki oleh seorang siswa dalam belajar yang antara lain :
1.      Kompetensi: Ialah kemampuan melakukan tindakan secara profesional. Secara lebih rinci batasan kompetensi adalah sebagai berikut:
2.      Konstruktivisme: Paradigma yang meyakini bahwa pembelajaran adalah penambahan pengetahuan baru hasil olahan pembelajar sendiri, atas dasar rangsangan yang berupa informasi dari sumber belajar.
3.      Motivasi belajar: Kekuatan pendorong kegiatan belajar secara intensif, persisten, terarah dan kreatif. ‘... Some kind of internal drive which pushes someone to do things in order to achieve something...’ (Jeremy Harmer, The Practice of English Language Teaching, Essex: Longman Press).
4.      Belajar aktif: Adalah kegiatan belajar yang ditandai dengan melakukan tindakan, dan memiliki ciri-ciri efektif, persisten, terarah dan kreatif.
Dalam model pembelajaran mandiri, dapat dilakukan dua bentuk evaluasi yaitu wawancara, kegiatan ini dilaksanakan dengan menanyakan secara lisan tes yang diinginkan. Tapi kegiatan ini akan memakan banyak waktu dan tenaga. Alternatif lain adalah memberikan tes tertulis dan kemudian dikoreksi oleh guru.