PERKEMBANGAN
ILMU GEOGRAFI
Disiplin ilmu Geografi berkembang akibat
tuntutan kebutuhan manusia. Setiap
generasi cenderung memiliki perbedaan kebutuhan sesuai perkembangan
masyarakat saat itu (Holt-Jensen, 1980 p. 9).
Dalam kehidupannya, setiap individu pada umumnya memiliki kemampuan
untuk menjelaskan tentang situasi dan
kondisi tempat tinggalnya serta memberikan penjelasan apa yang terjadi jika
menetap di tempat lain yang berbeda. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa setiap
manusia pada dasarnya sudah memiliki apa yang disebut “geographical thingking”
(pola berpikir geografis).
Geografi sebagai ilmu mulai menjadi
perhatian sejak tahun 300 sebelum masehi yaitu
pertama kali digunakan secara ilmiah oleh peserta didik di Mesir.
Pengamatan tentang aliran air sungai Nil rata rata tahunan serta penjelasan
tentang keragaman nilai pengamatan dilakukan oleh Herodotus merupakan awal
pengenalan istilah “geographical setting” yaitu istilah yang berkaitan dengan
lokasi obyek baik lokasi absolut maupun lokasi relatif.
Dalam perkembangannya, Wayne K Davies
(dalam Holt-Jensen, 1980 p.2) menjelaskan bahwa pada periode abad 15 sampai
abad 19, para geograf dunia aktif dalam kegiatan penemuan benua baru, menyusun
peta berikut uraiannya melalui keahlian kartografi yang dikuasainya. Pada abad
19 bermunculan perkumpulan ahli Geografi seperti Societe de Geographie de Paris
(1821), Gessellschaft fur Erdkunde zu Berlin (1828), the Royal Geographical
Society di London (1830), Meksiko (1833),
Frankfurt (1836), Brasil (1838), Rusia (1845) dan the American Geographical
Society (1852). Sampai dengan tahun 1885
tercatat hampir 100 organisasi masyarakat geografi dengan jumlah anggota
mencapai lebih dari 50.000 orang.
Apabila dibandingkan dengan kondisi di Indonesia ,
masyarakat Geografi baru mulai menghimpun diri dengan nama Ikatan Geograf Indonesia
pada tahun 1980 an dengan jumlah anggota kurang dari 1000 orang. Organisasi IGI bernaung di bawah
International Geography Union (IGU) yang berpusat di Jerman (Haggett, 2001).
Perkembangan ilmu Geografi semakin pesat
mulai awal abad XX. Pada tahun 1919
Feneman (Holt-Jensen, 1980 p.5) menjelaskan tentang bagaimana para geograf
melakukan sintesa berbagai kajian disiplin ilmu lain, dari sudut pandang
keruangan (spatial perspective),
terutama menyangkut relasi spasial.
Sebagai contoh , hasil kajian yang menyangkut karakteristik batuan
(Geologi), karakteristik tumbuhan (Biologi),
karakteristik iklim (Klimatologi) dan perilaku masyarakat di suatu
wilayah (Sosiologi), dengan menggunakan metode
analisis geografis, hasil
hasil kajian tersebut dapat
ditelaah agar diperoleh dalil
dalil tertentu. Contoh sederhana tersebut selanjutnya dapat dikembangkan pada
jenis dan jumlah variabel yang lebih banyak untuk menghasilkan informasi geografis
yang lebih lengkap.
Saat ini berbagai model dan metode
analisis kuantitatif, di samping metode kualitatif deskriptif, sudah dimanfaatkan secara meluas dalam
penelitian geografi. Laju pemanfaatan model model kuantitatif semakin meningkat
seiring dengan tersedianya berbagai fasilitas analisis dalam bentuk perangkat
lunak teknologi Sistem Informasi Geografi dan perangkat keras teknologi
Komputer dan Telekomunikasi serta kemudahan dalam penggunaanya (Worboys, 1998).
Proses pengolahan data dan analisis dapat dilakukan dengan lebih cepat dalam
satuan menit, tidak lagi dalam satuan jam atau hari sebagaimana sistem lama. Dalam kondisi ideal, informasi
geografis yang dibutuhkan akan dapat dengan cepat diperoleh pemakai (user).
Dalam era persaingan yang semakin ketat dewasa ini kecepatan memperoleh
informasi merupakan salah satu faktor kritis penentu keberhasilan (csf) usaha.
Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari perubahan paradigma masyarakat
sejak masyarakat nomaden (nomadic society) sampai dengan masyarakat informasi
(knowledge society) sebagaimana pendapat Boar (1997.p 5).
Perkembangan paradigma di atas dapat
menjelaskan adanya perbedaan pola kehidupan masyarakat, cara bekerja dan
tingkat kesejahteraannya. Perbedaan karakteristik pasar (marketplace) dalam
bentuk individu per individu (person to person) pada masyarakat nomaden, pasar
tradisionil pedesaan pada masyarakat agraris, pasar grosir pada masyarakat
perdagangan, pusat perbelanjaan (shopping malls) pada masyarakat industri dan
karakteristik adanya transaksi berbasis internet seperti online-shopping pada
masyarakat informasi. Dalam masyarakat
informasi, setiap individu tidak perlu melakukan perjalanan untuk memenuhi
kebutuhannya karena barang yang dibutuhkan akan diterima di tempat setelah
melakukan transaksi melalui internet. Perubahan perilaku masyarakat tersebut secara
siknifikan akan mengurangi kepadatan
lalulintas baik darat, laut maupun lalulintas udara, di mana pada gilirannya pemakaian ruang fisik
geografis akan semakin efisien.
Hal menarik dari masyarakat informasi
adalah adanya akibat dari dampak perkembangan teknologi informasi yang tidak
memandang lagi batas geografis (borderless) sehingga muncul pendapat yang
menyatakan bahwa era informasi saat ini adalah era matinya ilmu Geografi (death
of geography). Perkembangan teknologi informasi dipandang sebagai peubah
determinan terhadap laju perkembangan ilmu Geografi. Sebagai contoh,
perkembangan teknologi tersebut akan mempercepat terjadinya perubahan perilaku
masyarakat dalam berproses mengikuti
perkembangan globalisasi yang melanda seluruh dunia. Struktur marketplace berubah menjadi
marketspace.
Perubahan mendasar paradigma pembangunan
yang sedang berkembang saat ini mendorong masyarakat geografi untuk
memenuhi tuntutan perubahan paradigma
dan substansi pendidikan Geografi di Indonesia. Perumusan kompetensi lulusan,
penyempurnaan bahan ajar (kurikulum), pembinaan staf pengajar, kegiatan
pemasyarakatan peran Geografi dan peningkatan apresiasi profesi geograf perlu
segera dilakukan. Demikian pula kegiatan penelitian yang berkaitan dengan hambatan pengembangan disiplin ilmu Geografi
di Indonesia, dari berbagai sudut pandang, perlu dilaksanakan secara intensif .
PENDIDIKAN GEOGRAFI
DI INDONESIA
Perkembangan disiplin ilmu Geografi,
secara umum, ditentukan paling tidak
oleh 3 (tiga) hal pokok yaitu (1) sistem pendidikan antara lain materi
pelajaran Geografi di tingkat SD, SLTP dan SLTA serta kurikulum program studi
di perguruan tinggi, (2) kegiatan memasyarakatkan peranan Geografi dan (3)
apresiasi pihak pemakai (masyarakat) terhadap profesi dan hasil karya Geografi.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa keluaran dari sistem pendidikan yang
tepat akan dapat meningkatkan hasil pemasyarakatan peran Geografi dan pada
akhirnya hal tersebut dapat meningkatkan apresiasi berbagai pihak terhadap
profesi geografi. Proses demikian selanjutnya
menghasilkan umpan balik terhadap perkembangan ilmu Geografi di
Indonesia.
Berdasarkan struktur pendidikan formal di
Indonesia, secara umum dapat dikelompokan dalam dua tahap yaitu (1)
pembelajaran pengetahuan Geografi di
tingkat SD, SLTP dan SLTA dan (2) pembelajaran ilmu Geografi di Perguruan
Tinggi. Untuk selanjutnya, ke dua tahap pembelajaran tersebut akan ditelaah
secara singkat dalam tulisan ini.
1. Tahap pembelajaran
pengetahuan Geografi
1. a. Sekolah Dasar
Berdasarkan buku Ilmu Pengetahuan Sosial
(Pakpahan, 2003) dapat diketahui bahwa pelajaran Geografi di sekolah dasar
mulai diberikan kepada siswa kelas 3 dan menjadi bagian pelajaran Ilmu
Pengetahuan Sosial. Materi pelajaran
diawali dengan pengenalan berbagai jenis obyek yang terdapat di lingkungan
rumah, sekolah dan tempat lain di sekitarnya. Pengenalan obyek yang dapat
dijumpai sehari hari oleh siswa sekolah dasar
serta lokasi obyeknya dapat memberi bekal awal pengetahuan Geografi
tentang “apa” dan “di mana”. Ketrampilan menyampaikan pengetahuan secara
sederhana diberikan dalam bentuk kemampuan menggambar denah tentang berbagai
obyek.
Siswa kelas 4, 5 dan 6 diberi pelajaran
dengan obyek yang lebih luas mulai dari tingkat kelurahan sampai wilayah Indonesia
serta pengenalan nama nama dan letak negara tetangga. Pengenalan bentang alam seperti pantai,
gunung, sungai dan pengenalan jenis aktifitas manusia di muka bumi seperti
bertani sawah, kebun, hutan, perumahan dan jaringan jalan dapat memberikan bekal pengetahuan awal
tentang adanya persamaan dan perbedaan ruang muka bumi, tentunya secara sangat
sederhana. Bekal pengetahuan Geografi
bagi lulusan sekolah dasar yang telah memperoleh tahap pengenalan atlas dan
kemampuan menerangkan letak atau posisi obyek terbatas pada skala nasional
merupakan prasyarat minimal untuk proses pembelajaran Geografi pada tingkat
sekolah lanjutan. Paling tidak, materi
pengetahuan Geografi yang diberikan pada tingkat dasar dapat memicu
ketertarikan lulusan sekolah dasar mengembangkan “pola pikir geografi” dalam
pelajaran Geografi pada tingkat sekolah lanjutan.
Namun demikian, oleh karena masuk sebagai
bagian pelajaran IPS, sejak awal sekolah formal para anak didik telah diberi
pemahaman yang kurang tepat tentang substansi ilmu Geografi, seolah olah
Geografi adalah ilmu ilmu sosial. Pada tataran pohon keilmuan, Geografi juga
mempelajari obyek fisik yang bersifat eksakta seperti klimatologi, geomorfologi
dan geologi serta mempelajari teknologi pengolahan data geografis dan berbagai
model analisis spasial. Persepsi masyarakat akan semakin bias dengan adanya
berbagai informasi tentang latar belakang para guru yang memberikan pengetahuan
Geografi bukan lulusan dari pendidikan Geografi.
Keluaran dari proses pembelajaran pada
tingkat sekolah dasar seperti yang telah diuraikan memberikan kontribusi
terhadap rendahnya mutu pendidikan dasar sehingga menempatkan Indonesia pada
ranking 112 dari 145 negara atas Indeks Pembangunan Manusia Indonesia pada
tahun 2002, di mana pada tahun 2001
Indonesia menempati ranking 110. Posisi
tersebut jauh di bawah Vietnam
(109), Philipina (85), Thailand
(74), Brunei
(31), Singapura (28), Hongkong (26), Jepang (9) dan Amerika Serikat (7). Indeks tersebut diukur berdasarkan nilai dari
lima variabel,
di samping variabel di atas juga digunakan variabel jumlah penduduk miskin,
jumlah kasus kekurangan gizi, jumlah kematian ibu melahirkan dan tingkat
pelayanan sosial dasar anak & perempuan seperti imunisasi, persalinan dan
sanitasi.
1.b. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
Berdasarkan kurikulum pendidikan lanjutan
tingkat pertama materi pelajaran Geografi diberikan sebagai mata pelajaran yang
berdiri sendiri seperti pelajaran Matematika atau Biologi. Materi pelajaran Geografi diberikan mulai
kelas I sampai kelas III. Berdasarkan
pengkajian terhadap buku Geografi karangan Tim Abdi Guru (2003) yang digunakan oleh
para guru, lulusan sekolah lanjutan pertama memperoleh pengetahuan Geografi
meliputi :
Kelas I :
a.
peserta
didik dapat menjelaskan pengertian peta, atlas dan globe serta dapat mengetahui
cara menggunakannya.
b.
peserta
didik dapat menjelaskan keadaan wilayah Indonesia ditinjau dari beberapa
aspek geografi seperti luas dan letak, morfologi dan iklim.
c.
peserta
didik dapat menjelaskan keadaan sumberdaya manusia dan permasalahannya.
d.
peserta
didik dapat menjelaskan tata kehidupan sosial dan budaya.
e.
peserta
didik dapat menjelaskan keadaan geografi negara tetangga dan hubungannya dengan
Indonesia .
Kelas II :
a.
peserta
didik dapat menjelaskan sumberdaya alam Indonesia dan pemanfaatannya serta
upaya pelestariannya.
b.
peserta
didik dapat menjelaskan berbagai kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dan
hasil hasilnya.
c.
peserta
didik dapat menjelaskan kegiatan ekonomi penduduk seperti perindustrian,
perdagangan dan perhubungan.
Kelas III :
a.
peserta
didik dapat menjelaskan pembagian muka bumi atas beberapa benua dan daratan.
b.
peserta didik
dapat menjelaskan beberapa ciri
khas dari berbagai benua
dan beberapa negara di kawasannya.
c.
peserta
didik dapat menjelaskan potensi alam dan penduduk dunia.
d.
Peserta
didik dapat menjelaskan manfaat kerja sama internasional.
Materi
pelajaran Geografi seperti diuraikan
di atas dapat
bermanfaat bagi
peserta didik untuk
mulai secara sistematis memahami prinsip prinsip dasar ilmu Geografi, terutama
pada konsep ruang muka bumi yang terdiri dari pengetahuan geomorfologi, iklim
dan cara menyajikan ke dalam peta, secara sederhana. Para
peserta didik mulai memahami batas ruang muka bumi, bukan hanya pada skala lokal, tapi juga skala regional dan global.
Proses pembelajaran pengetahuan Geografi
tahap ini dapat disempurnakan terutama pada aspek latar belakang guru yang
memberi pelajaran. Para
guru dengan latar belakang pendidikan Geografi akan mampu memberikan materi
pelajaran lebih baik sehingga dapat mempermudah proses pembelajaran pada
tingkat selanjutnya.
1.c. Sekolah Lanjutan Tingkat Atas
Materi pelajaran Geografi pada sekolah
lanjutan tingkat atas hanya diberikan pada siswa kelas I dan kelas II. Salah satu faktor yang dapat menghambat
kelancaran proses pengembangan ilmu Geografi di Indonesia saat ini adalah tidak
adanya materi pelajaran Geografi di
kelas III sehingga siswa lulusan SLTA yang ingin melanjutkan studi di perguruan
tinggi tidak memiliki bekal informasi bidang ilmu Geografi secara memadai.
Secara ringkas muatan pelajaran Geografi
pada tingkat lanjutan atas dapat disederhanakan seperti uraian di bawah ini
(Wardiyatmoko dkk, 2003):
Kelas I :
-
pendalaman
materi pelajaran Geografi tingkat dasar dan lanjutan pertama
seperti tentang permukaan bumi, perairan darat dan laut, cuaca dan
iklim,
flora dan fauna, kependudukan dan tentang peta.
-
pengenalan tentang teknologi penginderaan
jauh dan sistem informasi
geografi (remote sensing dan
geographical information system).
-
beberapa pengertian yang
perlu disempurnakan dalam tahap ini
adalah
antara lain menyangkut definisi geografi karena obyek ruang angkasa
tidak
termasuk lingkup geografi, atau geografi regional, geologi,
hidrologi adalah
bukan cabang geografi.
Kelas II :
-
mengenal istilah
dan pengertian pemukiman
pedesaan dan perkotaan,
interaksi kota , pusat pertumbuhan, wilayah industri,
relokasi industri
-
mengenal
istilah dan pengertian AFTA 2003
-
mengenal
istilah kawasan, daerah, wilayah formal
-
memperoleh
pengetahuan umum tentang berbagai negara di dunia melalui deskripsi geografis
secara lebih lengkap
Secara umum materi pelajaran Geografi di
sekolah lanjutan seperti diuraikan di atas cukup memadai terutama jika
diberikan oleh guru Geografi. Dalam rangka menyempurnakan proses pembelajaran
tahap selanjutnya dipandang perlu untuk memberikan pelajaran Geografi bagi
siswa kelas III dengan materi mengetahui lebih banyak mengenai “apa saja yang
mampu dilakukan oleh Geograf” di berbagai kegiatan pembangunan. Artinya, bagi para lulusan SLTA paling tidak
sudah mengetahui dengan baik mengenai bidang pekerjaan yang bagaimana yang dapat
ditangani oleh sarjana Geografi.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa
di samping berkaitan dengan materi pelajaran, faktor latar belakang pendidikan
para guru yang mengajar dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan pencapaian
tujuan pembelajaran. Walaupun belum
pernah dilakukan penelitian namun dapat diperkirakan bahwa tidak sedikit
dijumpai guru yang mengajar Geografi berasal dari disiplin ilmu non
Geografi.
Permasalahan yang terjadi pada tahap ini
merupakan salah satu hambatan nyata dalam proses pembelajaran pada jenjang
pendidikan tinggi antara lain
berpengaruh dalam hal jumlah penerimaan dan mutu mahasiswa baru. Dua hal yang perlu segera
diatasi adalah (1) pemberian materi pelajaran Geografi bagi siswa kelas 3
dengan materi lebih banyak diarahkan pada “apa yang dapat dikerjakan para
geograf” dan (2) meningkatkan jumlah guru Geografi dengan latar belakang
pendidikan Geografi.
Telaah materi dan proses pembelajaran mata
pelajaran Geografi mulai dari SD sampai SLTA di Indonesia menunjukkan adanya
beberapa kelemahan sehingga perlu adanya perbaikan yaitu (1) mata pelajaran
Geografi di tingkat SD diberikan tersendiri seperti di tingkat SLTP dan SLTA,
(2) penyempurnaan materi kelas I SLTA,
(3) pembukaan mata pelajaran Geografi bagi siswa kelas III SLTA dan (4)
pelajaran Geografi diasuh oleh guru dengan latar belakang pendidikan Geografi.
Pada saat ini terdapat 148.516 SD, 20842 SLTP dan 7785 SLTA (BPS, 2002) dan
apabila diasumsikan satu sekolah membutuhkan satu orang guru Geografi maka
paling tidak dibutuhkan sebanyak 177143
orang guru Geografi.
Permasalahan
Kondisi pendidikan Geografi di SD,SLTP dan
SLTA seperti diuraikan secara hipotetis mengakibatkan lambatnya proses
pembelajaran pengetahuan Geografi di Indonesia.
Hal tersebut menyebabkan relatif belum berkembangnya “pola pikir geografis” (geographical
thinking) yang pada gilirannya berakibat pada rendahnya apresiasi terhadap
pentingnya peranan Geografi. Fenomena tersebut terjadi hampir pada semua
lapisan masyarakat termasuk para penentu kebijakan dalam pembangunan wilayah
tingkat nasional maupun para pengambil keputusan tingkat lokal.
Berdasarkan hal tersebut secara sederhana
dapat dikemukakan bahwa terdapat indikasi adanya hubungan antara rendahnya
tingkat perkembangan proses pembelajaran pengetahuan Geografi dan adanya
berbagai persoalan seperti diuraikan pada bagian awal. Permasalahan pada tahap
pembelajaran pengetahuan Geografi selama ini memberikan kontribusi penting
dalam proses pendidikan disiplin ilmu Geografi pada tingkat perguruan tinggi.
2. Pembelajaran
Geografi di Perguruan Tinggi
Pengkajian bahan ajar atau kurikulum
Geografi di perguruan tinggi dibatasi pada program studi strata 1 yang
menghasilkan lulusan pendidikan Geografi. Pada saat ini pola pendidikan strata
1 Geografi terdiri atas (1) program pendidikan yang menghasilkan Sarjana
Geografi atau yang bersifat keilmuan dan (2) program pendidikan yang
menghasilkan Sarjana Kependidikan Geografi atau yang bersifat ilmu
kependidikan. Ke dua jenis pendidikan tersebut memiliki tujuan yang berbeda.
Dalam makalah ini telaah dilakukan
terhadap kurikulum ke dua program studi tersebut.
2.1. Program studi Ilmu Geografi
Pada saat ini di Indonesia terdapat
6(enam) perguruan tinggi penyelenggara pendidikan program studi Geografi
yaitu 2(dua) PTN yaitu Universitas Indonesia dan
Universitas Gadjah Mada, dan 4(empat) PTS yaitu Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Universitas Muslim Nusantara Medan, STKIP Abdi Pendidikan dan STKIP
PGRI Sumatra Barat (Dikti Depdiknas, 2002). Sementara itu data jumlah mahasiswa
aktif tahun 2002 adalah 264 orang (UI) dan 1186 orang (UGM) atau total 1450
orang. Rata rata jumlah mahasiswa yang diterima setiap tahun dari ke dua
perguruan tinggi tersebut diperkirakan sebanyak
250 orang dan rata rata jumlah lulusannya sebanyak 150 orang. Dalam
tulisan ini data jumlah mahasiswa dan lulusan dari keempat PTS program studi
Geografi belum dapat disajikan.
Berdasarkan data tersebut di atas dapat
diketahui bahwa jumlah perguruan tinggi penyelenggara program studi Geografi di
Indonesia masih relatif sangat sedikit dengan daya tampung sangat terbatas.
Dengan asumsi jumlah mahasiswa Geografi dari PTS sama dengan PTN dan jumlah
total mahasiswa di Indonesia diperkirakan tidak melebihi angka dua juta , maka
jumlah mahasiswa Geografi diperkirakan kurang dari 0.5% dari jumlah mahasiswa
di Indonesia. Dari segi lokasi, jumlah provinsi yang memiliki perguruan tinggi
penyelenggara program studi Geografi sebanyak
kurang dari 20% dari total jumlah provinsi di Indonesia. Fakta tersebut
dapat dipandang sebagai salah satu indikator
yang dapat menunjukkan masih rendahnya perhatian masyarakat dan
pemerintah terhadap pendidikan Geografi
di Indonesia.
Di samping faktor jumlah dan sebaran
lokasi PT penyelenggara, faktor lain yang dapat mempengaruhi perkembangan ilmu
Geografi adalah belum jelasnya kualifikasi lulusan bagi masyarakat pengguna.
Salah satu faktor yang dapat menentukan kualifikasi lulusan adalah tingkat kompetensi dan materi kurikulum program studi. Penyempurnaan
kurikulum program studi Geografi, kurikulum inti dan kurikulum nasional, perlu
diberi perhatian serius dalam rangka memajukan pendidikan Geografi di Indonesia.
Keberadaan kurikulum baku program studi Geografi antara lain
diperlukan oleh BAN PT untuk melakukan evaluasi dan akreditasi secara nasional.
Hasil evaluasi BAN PT dapat digunakan oleh setiap penyelenggara program untuk
meningkatkan proses belajar mengajar dalam mencapai visi dan misi yang ditetapkan. Selanjutnya akan dilakukan
telaah singkat terhadap kurikulum
nasional program studi Geografi.
a. Kurikulum nasional
Penyelengaraan pendidikan program studi
Geografi di perguruan tinggi pada saat ini masih menggunakan acuan kurnas 1994,
walaupun akhir akhir ini proses penyempurnaan kurnas sedang dilaksanakan dan
sudah sampai tahap final. Kurikulum inti sebagai komponen terpenting dalam
kurnas merupakan acuan pokok bagi setiap program studi penyelenggara pendidikan
Geografi sekaligus merupakan salah satu komponen evaluasi dalam pelaksanaan
akreditasi BAN PT. Oleh karena itu kurikulum inti dapat digunakan sebagai
indikator untuk mengetahui tingkat
kompetensi lulusan yang diharapkan atau dengan perkataan lain mutu sarjana
Geografi yang bagaimana yang diharapkan saat ini.
b. Kurikulum inti
Diskusi panjang telah dan akan dilakukan
secara terus menerus oleh para geograf Indonesia untuk merumuskan mata
kuliah muatan kurikulum inti. Forum diskusi formal melalui pertemuan antar
program studi dan atau forum organisasi profesi di bawah Ikatan Geograf
Indonesia (IGI) melalui ajang seminar nasional, pekan ilmiah tahunan (PIT) atau
kongres berusaha menemukan kesepakatan bersama tentang kurikulum inti program
studi Geografi. Adanya keragaman dari sudut
pandang terhadap konsepsi geografi dan konsep pengembangannya dalam berbagai
ajang diskusi diharapkan melahirkan suatu kurikulum inti yang ideal dan layak
operasional terutama bagi perguruan tinggi di luar UI dan UGM mengingat
keterbatasan SDM dan teknologi yang dimiliki. Dengan demikian akan sekaligus
mempermudah pihak BAN-PT dalam menggunakan produk kurikulum inti tersebut untuk
melaksanakan evaluasi melalui kegiatan akreditasi secara nasional.
Dalam tulisan ini tidak disajikan materi kurikulum program studi Geografi dari
berbagai perguruan tinggi yang ada.
Beberapa acuan menyangkut pengertian dan definisi Geografi berbagai
literatur dapat dijadikan dasar untuk menyusun konsep kurikulum inti seperti
harapan yang telah dijelaskan di atas.
Agar dapat diperoleh
“benang merah” konsep pemikiran tentang berbagai definisi Geografi pada setiap
jamannya, Haggett (2001) mencoba menyajikan kutipan dari beberapa pengarang
sebagai berikut :
-Geography is concerned
to provide an accurate, orderly and, relational description of the variable character of
the earth’s surface (R. Hartshorne, “Perspectives on the Nature of Geography”,
Murray, London, 1959, p.21).
-Its goal is nothing
less than an understanding of the vast, interacting system comprising all humanity
and its natural environment on yhe surface of the earth (E.A.Ackerman, “Annals
of the Association of American Geographers,53”,1963, p.435).
-Geography seeks to
explain how the subsystems of the physical environment are organized on the
earth’s surface, and how man distributes himself over the earth in relation to
physical features and to other men (Ad Hoc Committee on Geography, “The Science
of Geography” – Academy of Sciences ,
Washington , D.C, 1965. p.1).
-Geography … a science
concerned with the rational development and testing of theories that explain and predict the spatial
distribution and location of various characteristics on the surface of the
earth (M.Yeates, “Introduction to Quantitative Analysis in Economic Geography”,
Prentice Hall, Engelwood Cliffs, N.J, 1968,p.1)
-Geography is the
science of place. Its vision is grand, its view panoramic. It sweeps the
surface of the Earth, charting the physical, organic, and cultural
terrains…(Science, “Review of Harm deBlij’s Geography Book”, John Wiley, New
York, 1995).
-Geography is an
integrative discipline that brings together the physical and human dimensions
of the world in the study of people, places, and environments (American
Geographical Society et all, “Geography for Life”, National Geographic Society,
Washington, D.C, 1994).
Walaupun belum dapat memberikan informasi
secara lengkap paling tidak definisi definisi di atas memperlihatkan adanya
perbedaan kebutuhan manusia pada setiap
periode definisi geografi. Perhatian geograf dimulai dengan analisis ruang muka
bumi sebagai lingkungan tempat hidup manusia, aspek lingkungan sebagai faktor
yang mempengaruhi manusia dalam mengorganisasi dirinya, dilanjutkan dengan
bagaimana mengorganisasi ruang muka bumi melalui pendekatan hubungan ekologis
terhadap lingkungan manusia, dan pada akhirnya para geograf tertarik
mengembangkan konsep keragaman ruang muka bumi dan telaah potensi kekayaannya
sesuai karakteristik wilayah masing masing. Oleh karena itu dalam menetapkan
kebijakan pembangunan wilayah seyogyanya
perlu memperhatikan faktor karakteristik wilayah, sebagai salah satu contoh
kritik para geograf saat ini, agar dapat mengurangi persoalan konflik yang
menyangkut “tanah” dalam konteks
“ruang”.
Dalam rangka menyusun kurikulum inti,
pemikiran Haggett (2001 p.764) tentang struktur internal ilmu Geografi dapat
digunakan sebagai salah satu pendekatan agar aspek keragaman (diversity) dapat
mencerminkan bahwa geografi adalah satu (unity). Pendekatan integratif tersebut
terdiri atas (1) spatial analysis yaitu (a) theoretical (spatial interaction
theory, diffusion theory, others) dan (b) applied (watershed development, urban
problems, others), (2) ecological analysis yaitu (a) theoretical (environmental
structures, ecosystems, others) dan (b) applied (natural resources geography,
hazard appraisal, others), (3) regional complex analysis yaitu (a) theoretical
(regional growth theory, interregional flow theory, others), dan (b) applied
(regional forecasting, regional planning, others).
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui
bahwa konsep pembidangan (geografi fisik
dan geografi manusia) sudah tidak relevan saat ini. Oleh karena itu perumusan
kurikulum inti seyogyanya mengikuti perkembangan paradigma yang berlaku secara
universal agar para geograf Indonesia
mampu memberikan kontribusi nyata terhadap perkembangan disiplin ilmu Geografi.
Kerangka umum pemikiran Haggett di atas mampu mengakomodasi berbagai persoalan
geografis di Indonesia saat ini dan di masa depan sebagai obyek penelitian para
geograf seperti contoh persoalan yang dikemukakan pada awal
tulisan ini.
Apabila disederhanakan, kurikulum inti
paling tidak mencerminkan 3(tiga)
ciri utama yaitu (1) core keilmuan (2)
kultur masyarakat (3) penguasaan teknologi.
Mata kuliah Meteorologi/Klimatologi,
Geologi/Geomorfologi, Kartografi, Konsep dan Metodologi Penelitian Geografi
merupakan ciri pertama. Geografi
penduduk dan Penggunaan tanah (land use) mengakomodasi ciri ke dua. Mata kuliah SIG dan Penginderaan Jauh
mengakomodasi ciri ke tiga. Walaupun masih terbuka ruang untuk didiskusikan
lebih lanjut, penguasaan kelompok mata kuliah diatas minimal mampu membentuk
ciri seorang “geograf”. Kemampuan merumuskan persoalan yang dihadapi baik
oleh pemerintah, swasta atau masyarakat
umum akan dapat memberikan nilai tambah bermakna bagi lulusan sekaligus
merupakan mata rantai dalam kerangka pengembangan ilmu Geografi.
c. Mata Kuliah Lokal
Materi kurikulum inti yang seragam bagi
semua penyelenggara program studi Geografi di Indonesia merupakan sarana untuk
menghasilkan sarjana Geografi dengan kompetensi yang tidak berbeda, baik
lulusan dari perguruan tinggi negeri maupu n swasta. Artinya, setiap lulusan
memiliki core-competence sama. Oleh karena
jumlah sks yang dipersyaratkan untuk meraih kesarjanaan melebihi jumlah sks
kurikulum inti (144 sks) maka akan terdapat keragaman kurikulum pendidikan pada
berbagai program studi Geografi terutama pada mata kuliah muatan lokal (mata
kuliah lokal).
Apabila jumlah sks mata kuliah kurikulum
inti telah ditetapkan maka jumlah mata kuliah lokal dan jumlah sksnya dapat
ditentukan dengan catatan jumlah sks total sebanyak 144 sks. Salah satu alternatif penetapan mata kuliah
lokal untuk mencerminkan ciri khusus perguruan tinggi penyelenggara adalah
dengan memperhatikan 3 (tiga) hal penting yaitu (1) jumlah dan mutu staf
pengajar (2) sarana dan prasarana pendidikan dan (3) kebutuhan pasar. Bertitik
tolak dari analisis optimalisasi ke tiga komponen tersebut dapat ditetapkan
ciri khusus sarjana Geografi dari masing masing perguruan tinggi. Pada tahap selanjutnya, tingkat kompetensi
dan ciri lulusan yang diharapkan tersebut dapat digunakan untuk merumuskan visi
dan misi program studi sebagai cermin keinginan di masa depan.
Permasalahan
Pembahasan tentang kurikulum program studi
Geografi seperti disampaikan di atas dilakukan dengan tujuan untuk tercapainya
kesepakatan adanya kesamaan kualifikasi sarjana Geografi di Indonesia. Kejelasan kualifikasi tenaga sarjana Geografi
diperlukan untuk memudahkan para pengguna dalam
memanfaatkan profesi Geografi. Faktor tidak jelasnya kualifikasi
tersebut selama ini dianggap sebagai
salah satu faktor penghambat dalam memasyarakatkan peran Geografi di Indonesia.
Beberapa persoalan yang dikemukakan pada bagian awal tulisan ini, secara
hipotetis dapat dijadikan salah satu bukti adanya jalinan sebab-akibat.
Pada saat ini, kecuali tiga PTS yang tidak
ada datanya, tiga perguruan tinggi
penyelenggara program studi Geografi yaitu Departemen Geografi FMIPA UI membuka
satu program studi, sedangkan Fakultas Geografi UGM dan Fakultas Geografi Universitas
Muhammadiyah Surakarta membuka lebih dari satu program studi Geografi, dengan
nama yang berbeda. Oleh karena ada
perbedaan nama program studi maka akan ada perbedaan kompetensi lulusan dan
perbedaan kurikulum untuk menghasilkan kompetensi tersebut. Hal inilah yang
barangkali selama ini menjadi faktor kesulitan dalam merumuskan core curriculum
program studi Geografi di Indonesia. Hal ini akan berbeda jika nama program
studi lain kecuali program studi “Geografi” merupakan program pengkhususan atau
peminatan.
Keragaman program studi Geografi, baik nama
program maupun muatan kurikulumnya menjadi salah satu hambatan dalam
pelaksanaan kegiatan akreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
(BAN-PT). Salah satu faktor yang menghambat teknis pelaksanaan evaluasi adalah
kode program studi dan nama program studi yang ditetapkan Ditjendikti. Program studi bidang Geografi diberi nama
program studi Geografi Manusia dan program studi Geografi Fisik dan Lingkungan
(BAN-PT, 2003), sedangkan yang digunakan sebagai dasar penyelenggaraan
pendidikan sejak awal adalah Surat Keputusan Menteri Pendidikan dengan nama
program studi Geografi.
Persoalan inilah yang barangkali dapat
dianggap sebagai titik awal untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh
terhadap sistem pendidikan program studi Geografi di Indonesia. Untuk itu kepada seluruh geograf yang
terlibat langsung dalam pelaksanaan pendidikan Geografi di Indonesia perlu
menyatukan visi dan menyusun rencana aksi untuk melahirkan rumusan kompetensi
dan struktur kurikulum baku program studi Geografi, dalam waktu yang tidak
terlampau lama, untuk meningkatkan peran serta dalam memberikan kontribusi solusi berbagai permasalahan yang dihadapi
bangsa dan negara saat ini dan di masa depan.
B. Program studi Pendidikan Geografi
Dalam bagian ini tidak dimaksudkan untuk
melakukan telaah rinci tentang hal hal yang berkaitan dengan kompetensi dan
kurikulum program studi akan tetapi pembahasannya lebih difokuskan pada
bagaimana pola sebaran perguruan tinggi
penyelenggara sebagai “produsen” guru Geografi dan bagaimana pola se baran SD,
SLTP dan SLTA dan yang sederajat sebagai “konsumen” di seluruh Indonesia.
Melalui kajian ini diharapkan dapat diketahui di wilayah mana saja peluang
terjadinya hambatan proses pembelajaran pengetahuan Geografi dan bagaimana
alternatif pemecahannya.
Akibat perubahan kebijakan pengembangan
perguruan tinggi di Indonesia terjadi perubahan nama institusi pendidikan
program studi bidang Pendidikan Geografi dari Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP) menjadi Fakultas Pendidikan di bawah institusi Universitas
Negeri. Sebagai contoh IKIP Jakarta
menjadi Universitas Negeri Jakarta.
Pada
saat ini di seluruh Indonesia terdapat 16 PTN dan 9 (sembilan) PTS
penyelenggara program studi Pendidikan Geografi dan tersebar tidak merata di
seluruh propinsi dan terkonsentrasi sebagian besar di Jawa seperti terlihat
pada peta 2 (Dikti Depdiknas, 2002).
Apabila dikaitkan dengan sebaran SD, SLTP dan SLTA sebagai “konsumen”
(peta 3) dapat diketahui bahwa beberapa wilayah di Indonesia seperti Kalimantan
dan sebagian Sumatra terindikasi potensial kekurangan guru Geografi. Akibat
selanjutnya dapat diduga bahwa di daerah daerah tersebut mengalami
hambatan dalam proses pembelajaran
Geografi dan pada akhirnya secara hipotetis dapat dikatakan bahwa tingkat
perkembangan ilmu Geografi di wilayah tersebut relatif lebih rendah dibanding daerah lain.
Sebagaimana telah diuraikan di atas,
kurikulum merupakan salah satu faktor penentu proses pengembangan disiplin ilmu
Geografi. Melalui pengamatan terhadap
salah satu sampel kurikulum program studi Pendidikan Geografi dapat diketahui
bahwa beban studi untuk menjadi sarjana adalah sebanyak 152 sks termasuk
skripsi, sekitar 20 % diantaranya adalah
muatan mata kuliah pendidikan, sedangkan 80% sisanya adalah mata kuliah
Geografi. Apabila diperhatikan, dalam struktur kurikulum terdapat mata kuliah
inti bidang Geografi seperti Pengantar / Filsafat Geografi, Geologi /
Geomorfologi, Meteorologi / Klimatologi dan terdapat mata kuliah SIG dan
Penginderaan Jauh. Berdasarkan materi mata kuliah tersebut dan keragaman mata kuliah sistematik
dan regional yang diperoleh selama studi, dapat disimpulkan bahwa lulusan
program studi pendidikan Geografi di Indonesia dinilai mampu menjalankan
profesi sebagai guru Geografi, baik di SD, SLTP maupun SLTA dan bahkan sebagai
dosen di perguruan tinggi sejenis.
Paling tidak ada dua persoalan mendasar
dalam hubungannya dengan tulisan ini yaitu (1)
bagaimana agar jumlah kebutuhan guru Geografi dapat dipenuhi oleh
lulusan PT yang ada?, (2) bagaimana agar tidak terjadi ketimpangan persebaran
lokasi “produsen” dengan persebaran
lokasi sekolah yang membutuhkan?.
Berdasarkan data jumlah total mahasiswa
kependidikan Geografi sebanyak 4133 orang dan jumlah lulusan tahun 2001/2002
sebanyak 691 orang (Dikti Depdiknas, 2002) dan jika diasumsikan seluruh PT di
Indonesia hanya mampu menghasilkan lulusan sebanyak 2000 orang setiap tahun,
selama 30 tahun terakhir diperkirakan menghasilkan 60000 orang sarjana
Pendidikan Geografi, jumlah sekolah dan
variabel lain dianggap tetap, maka dibutuhkan
waktu paling tidak 50 tahun lagi agar setiap sekolah di Indonesia
memiliki seorang guru Geografi.
Apabila dikaitkan dengan kebutuhan guru
Geografi di SLTP dan SLTA maka diperkirakan masih diperlukan waktu lebih dari
10 tahun agar dapat memenuhi seluruh SLTP dan SLTA di Indonesia. Angka perkiraan
tersebut diungkapkan untuk memberikan informasi awal tentang adanya kekurangan
guru Geografi yang selama ini terjadi di Indonesia .
PEMASYARAKATAN
PERAN GEOGRAFI
Kegiatan pemasyarakatan peran Geografi
dapat dilakukan melalui berbagai cara sesuai kondisi dan dinamika masyarakat,
baik jalur formal seperti melalui kegiatan seminar hasil penelitian ilmiah dan
penelitian terapan, kegiatan praktis
pembangunan wilayah dalam berbagai skala atau jalur non formal antara
lain melalui kegiatan lembaga swadaya
masyarakat atau individu. Diseminasi hasil penelitian dan pemikiran Geografi
melalui berbagai jurnal ilmiah merupakan salah satu cara efektif pemasyarakatan
peran Geografi. Organisasi profesi seperti IGI dan IGEGAMA dapat melakukan
fungsi sebagai interface untuk memasyarakatkan produk pemikiran akademis
Geografi ke dalam lingkungan pemerintah dan swasta.
Keragaman jenis hasil penelitian baik dari
segi jumlah dan mutunya serta intensitas komunikasi melalui jaringan masyarakat
geografi dapat meningkatkan apresiasi pengguna terhadap peranan Geografi di
Indonesia. Di samping itu informasi tentang lapangan kerja dan konsentrasi
sebaran lulusan Geografi pada setiap bidang pekerjaan dapat digunakan untuk
mengetahui sejauh mana peran Geografi di Indonesia.
Secara umum lapangan kerja bagi lulusan
Geografi dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu :
(1) bidang kerja untuk menjaga keberlanjutan
eksistensi ilmu Geografi
(2)
bidang
kerja untuk mendukung pengembangan ilmu Geografi
(3)
bidang
kerja untuk melaksanakan terapan ilmu Geografi
Di samping itu usaha
pengelompokan dapat dilakukan menurut lingkup pekerjaannya seperti pengelolaan
lingkungan, pendidikan, SIG dan PJ, kartografi dan perencana, atau menurut
institusi kerja seperti perusahaan bisnis atau industri swasta, lembaga
pemerintah pusat dan daerah (lokal) , BUMN dan lembaga pendidikan.
Menurut Haggett (2001, p.768) lulusan
program studi Geografi di Amerika Serikat paling banyak bekerja pada bidang
pengelolaan lingkungan (13%) dan paling sedikit bekerja sebagai perencana (7%)
sedangkan berdasarkan institusi kerjanya
paling banyak bekerja di perusahaan bisnis/industri swasta (40%) dan paling
sedikit bekerja di lembaga pemerintah lokal (10%). Fakta tersebut menunjukkan
bahwa sektor swasta di Amerika Serikat memiliki apresiasi paling besar terhadap
profesi geograf dibanding sektor lainnya.
Walaupun belum ada penelitian secara
lengkap tentang sebaran sarjana Geografi di Indonesia, namun dapat diperkirakan
bahwa sekitar 5000 orang lulusan Geografi UI dan UGM tersebar pada semua bidang
pekerjaan seperti diuraikan di atas.
Secara kualitatif dapat dikemukakan bahwa sebagian besar bekerja pada
lembaga pemerintah dan lembaga pendidikan sedangkan paling sedikit bekerja pada
lembaga bisnis swasta. Di Samping faktor budaya, faktor lain yang diduga
mempengaruhi hal tersebut adalah belum jelasnya selling-point profesi Geografi
selama ini.
Berdasarkan data proyek penelitian yang
dilaksanakan Pusat Penelitian Geografi Terapan (PPGT) Departemen Geografi FMIPA
UI dan informasi tempat bekerja para lulusan Geografi akhir akhir ini ada
indikasi semakin besarnya apresiasi masyarakat swasta terhadap profesi dan
keahlian Geografi. Hal ini kemungkinan disebabkan antara lain oleh faktor
keahlian teknis SIG dan PJ yang dikuasai lulusan Geografi saat ini. Oleh karena
itu faktor yang menjadi “selling-point” tersebut dapat secara efektif
dimanfaatkan dalam setiap kegiatan pemasyarakatan peranan Geografi di berbagai
lingkungan masyarakat.
Upaya pemasyarakatan peran Geografi perlu
dilakukan secara intensif karena adanya kecenderungan penurunan perhatian
masyarakat dan pemerintah terhadap keberadaan pendidikan Geografi di Indonesia.
Wacana tentang akan dihapuskannya pelajaran Geografi di sekolah adalah sekedar
contoh, walaupun pada akhirnya pemerintah menolak pemikiran tersebut. Contoh
lain adalah belum adanya kemauan politik pemerintah untuk menetapkan profesi
Geografi sebagai profesi penting sejajar dengan ekonomi, hukum atau teknik.
Sumatra
dan Sulawesi Tengah menghadapi
permasalahan kekurangan guru
PENUTUP
Persoalan geografis dalam lingkup
nasional dan lokal maupun regional dan sektoral seperti yang telah dikemukakan
dikaitkan dengan uraian tentang esensi disiplin ilmu Geografi, pendidikan
Geografi, pemasyarakatan dan apresiasi terhadap peranan Geografi di Indonesia
menghasilkan beberapa temuan penting sebagai berikut :
1. Pelajaran Geografi belum
ditetapkan menjadi mata pelajaran wajib di SD dan
diberikan bersama dengan pelajaran sosial lain (di bawah
pelajaran IPS).
2. Pelajaran Geografi tidak
diberikan kepada siswa kelas III SLTA.
3. Materi pelajaran Geografi di SD,
SLTP dan SLTA belum disusun secara berke
sinambungan menurut kompetensi masing masing.
4. Pelajaran Geografi lebih banyak
diberikan oleh guru yang tidak memiliki latar
pendidikan
sarjana Geografi karena
jumlah sarjana pendidikan
Geografi
lulusan PT masih belum dapat memenuhi
kebutuhan guru Geografi.
5. Beberapa provinsi di
Indonesia seperti semua
provinsi di Kalimantan , Jambi di
Geografi karena tidak adanya perguruan
tinggi penyelenggara Geografi.
6. Berdasarkan data
yang diperoleh dibutuhkan waktu tidak kurang dari 30 tahun
untuk memenuhi kebutuhan guru Geografi
setiap sekolah di seluruh Indonesia
7. Jumlah penyelenggara
program studi ilmu Geografi baru ada enam perguruan
tinggi, dua PTN dan empat PTS dan
seluruhnya tersebar di lima
provinsi atau
baru mencakup sekitar 15% dari seluruh
provinsi di Indonesia .
8. Jumlah mahasiswa
Geografi di Indonesia diperkirakan baru mencapai kurang
dari 0.5% dari total mahasiswa seluruh
perguruan tinggi dan baru meluluskan
sekitar 5000 sarjana Geografi yang telah
bekerja di berbagai
lembaga baik
pemerintah maupun swasta.
Berdasarkan temuan di atas dapat
dikemukakan beberapa kesimpulan umum sebagai berikut :
1. Perkembangan pendidikan Geografi di Indonesia
masih dalam tahap awal untuk menemukan jatidiri. Setelah dapat menetapkan
kompetensi setiap jenjang pendidikan dari SD hingga PT dengan menetapkan materi
ajar atau kurikulum baku
maka pada saat itulah baru mulai dilakukan evaluasi untuk menentukan tingkat
perkembangan ilmu Geografi di Indonesia.
2. Kondisi pendidikan Geografi yang
berlangsung selama ini
secara hipotetis
mengakibatkan masih
rendahnya apresiasi terhadap peran Geografi baik dalam
lingkup pengambilan
keputusan tingkat nasional, regional maupun lokal sehingga
membuka peluang
terjadinya berbagai permasalahan seperti dikemukakan dalam awal tulisan ini.
3. Berbagai persoalan terutama yang berkaitan
dengan ketiadaan data dan informasi geografis secara lengkap, tepat dan terbaru
mengakibatkan inefisiensi baik dari segi tenaga, dana dan waktu dalam kegiatan
pembangunan wilayah.
4. Usaha
dan komitmen para geograf terutama yang
terlibat langsung dalam penyelenggaraan pendidikan yang dipandang kurang fokus
terhadap substansi permasalahannya merupakan salah satu faktor yang memberikan
kontribusi signifikan terhadap kondisi perkembangan pendidikan Geografi saat
ini.
0 comments:
Post a Comment