Saturday, February 4, 2012

Teori Perkembangan Kota



Teori-teori yang melandasi struktur ruang kota yang paling dikenal yaitu:
1.    Teori Konsentris (Burgess,1925) yang menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Bussiness District (CBD) adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota.
DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings).
2.    Teori Sektoral (Hoyt,1939) menyatakan bahwa DPK atau CBD memiliki pengertian yang sama dengan yang diungkapkan oleh Teori Konsentris.
3.    Teori Pusat Berganda (Harris dan Ullman,1945) menyatakan bahwa DPK atau CBD adalah pusat kota yang letaknya relatif di tengah-tengah sel-sel lainnya dan berfungsi sebagai salah satu “growing points”. Zona ini menampung sebagian besar kegiatan kota, berupa pusat fasilitas transportasi dan di dalamnya terdapat distrik spesialisasi pelayanan, seperti “retailing” distrik khusus perbankan, teater dan lain-lain (Yunus, 2000:49). Namun, ada perbedaan dengan dua teori yang disebutkan di atas, yaitu bahwa pada Teori Pusat Berganda terdapat banyak DPK atau CBD dan letaknya tidak persis di tengah kota dan tidak selalu berbentuk bundar.
4.    Teori Ketinggian Bangunan (Bergel, 1955). Teori ini menyatakan bahwa perkembangan struktur kota dapat dilihat dari variabel ketinggian bangunan. DPK atau CBD secara garis besar merupakan daerah dengan harga lahan yang tinggi, aksesibilitas sangat tinggi dan ada kecenderungan membangun struktur perkotaan secara vertikal. Dalam hal ini, maka di DPK atau CBD paling sesuai dengan kegiatan perdagangan (retail activities), karena semakin tinggi aksesibilitas suatu ruang maka ruang tersebut akan ditempati oleh fungsi yang paling kuat ekonominya.
5.    Teori Konsektoral (Griffin dan Ford, 1980). Teori Konsektoral dilandasi oleh strutur ruang kota di Amerika Latin. Dalam teori ini disebutkan bahwa DPK atau CBD merupakan tempat utama dari perdagangan, hiburan dan lapangan pekerjaan. Di daerah ini terjadi proses perubahan yang cepat sehingga mengancam nilai historis dari daerah tersebut. Pada daerah – daerah yang berbatasan dengan DPK atau CBD di kota-kota Amerika Latin masih banyak tempat yang digunakan untuk kegiatan ekonomi, antara lain pasar lokal, daerah-daerah pertokoan untuk golongan ekonomi lemah dan sebagian lain dipergunakan untuk tempat tinggal sementara para imigran.
6.    Teori Historis (Alonso, 1964). DPK atau CBD dalam teori ini merupakan pusat segala fasilitas kota dan merupakan daerah dengan daya tarik tersendiri dan aksesibilitas yang tinggi.

Jadi, dari teori-teori tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa DPK atau CBD merupakan pusat segala aktivitas kota dan lokasi yang strategis untuk kegiatan perdagangan skala kota.

Tahap-tahap Perkembangan Kota, Pola Keruangan Desa dan Kota
1. Griffith Taylor
Griffith Taylor (1958) mengemukakan tahapan perkembangan kota sebagai berikut:
- Stadium Infantile, di dalam stadium ini tak terlihat batas yang jelas antara daerah pemukiman dan daerah perdagangan. Demikian pula antara daerah miskin dan kaya. Batas-batasnya sulit untuk digambarkan. Perumahan pemilik toko dan toko yang masih menjadi satu juga menjadi ciri-ciri stadium ini.
- Stadium Juvenile, di dalam stadium ini mulai terlihat bahwa kelompok perumahan tua sudah mulai terdesak perumahan-perumahan baru. Selain itu, terdapat pula pemisah antara daerah pertokoan dan daerah perumahan.
- Stadium Mature, di dalam stadium ini banyak ditemui daerah-daerah baru yang telah mengikuti rencana tertentu.
- Stadium Senile, stadium kemunduran kota. Hal ini terjadi karena di stadium ini tampak bahwa setiap zona terjadi penurunan dan kemunduran karena kurang adanya pemeliharaan yang dapat disebabkan faktor ekonomi dan politik
2. J.M. Houston
J.M. Houston berpendapat bahwa karakteristik perkembangan kota melalui tiga tahap berikut:
- Stadium Pembentukan Inti Kota, yang dikenal dengan istilah CBD (Central Business District). Pada tahap ini, pembangunan gedung-gedung sebagai penggerak kegiatan mulai berkembang. Namun kenampakan fisik kota masih meliputi wilayah yang sempit.
- Stadium Formatif, pada tahap ini, inti kota mulai berkembang akibat perkembangan industri. Perkembangan sektor industri, transportasi, dan perdagangan menyebabkan makin luasnya keadaan pabrik-pabrik di perkotaan. Perluasan daerah umumnya terjadi di daerah yang transportasinya lancar, seperti di pinggir jalan raya.
- Stadium Modern, di stadium ini mulai terlihat terjadinya kemajuan bidang teknologi. Makin majunya transportasi dan komunikasi menyebabkan seseorang tak bergantung lagi pada tempat tinggal yang dekat tempat kerja. Oleh karena itu, ada gejala perkembangan kota yang mengarah keluar. Kenampakan kota tak sesederhana stadium pertama dan kedua, tetapi jauh lebih kompleks. Pada tahap ini, terjadi penggabungan beberapa pusat kegiatan sehingga menentukan batas wilayah perkotaan sudah makin sulit.
Menurut Lewis Mumford
1.    Neopolis, Kota menempati suatu pusat daerah pertanian dengan adat istiadat bercorak pedesaan dan serba sederhana.
2.    Polis, Merupakan pusat kehidupan keagamaan dan pemerintahan.
3.    Metropolis, Dalam kota besar ini telah terjadi pertemuan orang dari berbagai bangsa untuk tujuan dagang dan saling bertukar kebudayaan. Terjadi perkawinan campuran antar bangsa maupun antar ras sehingga menyebabkan penduduk kota heterogen
4.    Megapolis, Merupakan peningkatan dari kota metropolis. Terjadi gejala sosiopatologis. Kekuasaan dan kekayaan semakin menonjol, kemiskinan juga semakin meluas.
5.    Tyranopolis, Kota besar ini dilanda kepincangan-kepincangan social yang berupa korupsi dan kemerosotan moral. Kaum miskin merupakan kekuatan yang tak dapat diremehkan.
6.     Nekropolis, Merupakan tahap terakhir daaari perkembangan kota. Kota mengalami kemunduran, menuju keruntuhan (nekros / bangkai )

Dilihat dari bentuk bangunan dan persebarannyatahap perkembangan kota terbagi
Menjadi :
1.    Stadia Infantile : rumah dan toko menjadi satu.
2.    Stadia Jufentile : Bentuk rumah kuno diganti dengan rumah baru, sudah ada pemisah antara rumah dengan toko atau perusahaan.
3.    Stadia Mature : bentuk rumah yang diatur penyusunannya, timbul area-area baru untuk pemukiman atau industri.
4.    Stadia Senile : terjadi kemunduran berbagai aktivitas kehidupan serta bangunannya akibat kurangnya pemeliharaan.
Berdasarkan fase perkembangan secara tekhnis, kota terbagi menjadi :
1.    Fase mesoteknis, Mengandalkan eksploitasi manusia atas sumber daya air dan angin. Semua peralatan digerakkan dengan daya angin dan air.
2.    Fase Paleotekhnis, Sumber tenaga yang digunakan adalah uap air. Mesin-mesin konstruksi dari baja. Mulai dibicarakan pabrik-pabrik dengan cerobong asap.
3.    Fase Neotekhnisus, Sumber tenaga yang digunakan adalah bensin dan lisstrik, mengarah pada penggunaan tenaga nuklir.
Menurut N.R. Saxena, tahapan pemusatan penduduk kota terbagi atas :
1. Infant town (jml penduduk 5000 – 10.000 orang)
2. Township ( jml penduduk 10.000 – 50.000 orang), terdiri atas :
·         Adolecent township
·         Mature township
·         Specialized township
3 Township ( jml penduduk 100.000 – 1.000.000), terdiri atas :
·         Adolecent township
·         Mature township
·         Adolecentship

Pemerintah Republik Indonesia menggolongkan kota berdasarkan jumlah
penduduk sbb :
1. Kota kecil, jmh penduduk 20.000 – 50.000 orang
2. Kota sedang, jml penduduk 50.000 – 100.000 orang
3. Kota besar, jml penduduk 100.000 – 1.000.000 orang
4. Kota metropolis, jml penduduk ‹ 1. 000.000


0 comments:

Post a Comment